Peron House Makna Proses dalam Berkarya dan Literasi

Peron House Makna Proses dalam Berkarya dan Literasi

Mengembalikan Makna Proses dalam Berkarya

Di zaman serba cepat dan instan, seringkali kita lupa bahwa proses adalah bagian terpenting dari sebuah pencapaian. Peron House hadir sebagai sebuah rumah penerbitan yang berusaha mengajak kita kembali menghargai perjalanan panjang dalam berkarya.

Dibangun oleh Leila S. Chudori dan Rain Chudori, Peron House bukan hanya tempat menerbitkan buku. Ia adalah ruang di mana proses kreatif dihargai, dan karya diolah dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Filosofi slow publishing menjadi inti dari visi mereka, menentang budaya terburu-buru yang merajalela di industri saat ini.

Perjalanan karya yang panjang dan penuh revisi seperti novel “Namaku Alam” yang sedang dikerjakan Leila, atau rilisan “Porter Pamphlet” yang telah sukses diluncurkan, menjadi bukti nyata bagaimana Peron House memegang teguh nilai proses dan kualitas.

Peron House juga merupakan manifestasi dari warisan budaya keluarga Chudori yang sejak lama berkecimpung dalam dunia literasi dan seni. Mereka ingin menciptakan ruang yang tidak hanya fokus pada bisnis, tapi juga sebagai wadah pelestarian budaya dan ruang diskusi yang intim dan grounded berbasis komunitas.

Konsep ini berusaha menyeimbangkan akses informasi dan kebebasan berekspresi dengan kebutuhan finansial sebagai penerbit, sekaligus menghadirkan tempat yang terasa seperti rumah bagi para penulis dan seniman.

Pendekatan Peron House

Peron House Makna Proses dalam Berkarya dan Literasi

Peron House bukan hanya tentang menerbitkan karya, tetapi juga membangun komunitas kreatif yang solid dan inklusif. Dalam memilih seniman dan penulis, Peron House mengedepankan keseimbangan antara penulis pemula dan yang sudah dikenal. Tujuannya adalah membuka ruang bagi bakat baru sekaligus menjaga kualitas dengan kehadiran nama-nama mapan.

Sebagai contoh, kurasi “Porter Pamphlet” edisi pertama dilakukan oleh Raka Ibrahim, seorang kurator berpengalaman yang juga pernah bekerja dengan Rain Chudori di Comma Books. Mereka mengangkat tema coming of age dengan menggabungkan karya Joko Anwar, Dian Sastrowardoyo, dan penulis muda berbakat lain seperti Kiki Nasution dan Ghina Furqan.

Peron House percaya bahwa proses kreatif butuh waktu dan kesabaran. Ini menjadi sebuah perlawanan terhadap budaya industri yang menuntut kecepatan dan hasil instan. Rain Chudori menyebut bagaimana budaya hypercapitalism memaksa banyak orang untuk terburu-buru, yang sebenarnya justru mengurangi kualitas karya.

Leila S. Chudori mengamati fenomena generasi muda yang ingin hasil cepat dalam menulis, tanpa sabar melewati proses revisi dan seleksi. Melalui Peron House, mereka mengajak penulis untuk menikmati proses, mulai dari menulis cerita pendek hingga memperbaiki draft berkali-kali, sebagaimana Leila sendiri yang merevisi prolog novel “Laut Bercerita” sampai 22 kali.

Dalam proses editing, Peron House menjalankan prosedur ketat, termasuk penyuntingan dan proofreading dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Mereka tetap memberikan kebebasan ekspresi kepada penulis, namun menjaga standar bahasa dan etika penulisan.

Selain itu, Peron House menyediakan ruang mentorship yang organik bagi para penulis muda dan berpengalaman. Interaksi informal ini menjadi sumber pembelajaran berharga yang tidak selalu tersedia dalam institusi pendidikan formal.

Menanggapi kritik, Leila dan Rain menekankan pentingnya memilah mana kritik yang membangun dan mana yang sekadar komentar negatif tanpa dasar. Mereka mengajak penulis untuk tetap fokus pada proses kreatif dan tidak terjebak pada komentar yang merusak semangat.

Visi Peron House adalah menghadirkan sebuah publishing house yang lambat, sederhana, dan mudah diakses, namun tetap terasa seperti rumah bagi para insan kreatif yang ingin menghargai proses dan kualitas karya.

Membangun Komunitas Berkarya

Peron House Makna Proses dalam Berkarya dan Literasi

Peron House bukan sekadar rumah penerbitan, melainkan juga sebuah gerakan yang ingin melestarikan budaya literasi dan seni Indonesia. Dengan mengedepankan filosofi slow publishing, mereka berharap dapat menumbuhkan apresiasi yang lebih dalam terhadap proses berkarya, bukan sekadar hasil instan.

Melalui proyek seperti “Porter Pamphlet”, Peron House menghadirkan ruang bagi para penulis dan seniman untuk berekspresi secara bebas namun tetap terarah. Kolaborasi antara penulis berpengalaman dan pendatang baru menciptakan dinamika kreatif yang segar sekaligus bermutu.

Dampak Peron House juga dirasakan dalam penguatan komunitas. Dengan menyediakan ruang diskusi, mentorship, dan interaksi informal, mereka membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional para kreator. Hal ini sangat penting di tengah tantangan industri kreatif yang serba cepat dan kompetitif.

Leila dan Rain percaya bahwa dengan memberikan waktu dan ruang yang cukup untuk berkarya, kualitas hasil akan meningkat secara alami. Mereka menolak budaya terburu-buru yang seringkali mengorbankan kedalaman dan orisinalitas karya.

Peron House juga mengembalikan publishing ke akar budaya Indonesia: sebagai sarana untuk belajar, bertukar pikiran, dan menjaga tradisi agar tetap hidup dan berkembang. Ini bukan sekadar bisnis, tapi panggilan untuk ikut menjaga kekayaan intelektual bangsa.

Harapan terbesar mereka adalah agar Peron House dapat menjadi tempat di mana proses dan karya dihargai secara setara, dan di mana komunitas kreatif merasa di rumah. Sebuah tempat yang menginspirasi generasi sekarang dan masa depan untuk terus berkarya dengan kesabaran dan cinta.

Rumah untuk Proses dan Kreativitas yang Mengalir

Peron House mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang serba cepat, proses adalah ruang suci yang harus dihargai. Proses yang penuh kesabaran, ketelitian, dan keikhlasan itulah yang menuntun karya menjadi bermakna dan tahan lama.

Peron House Makna Proses dalam Berkarya dan Literasi

Sebagai sebuah rumah penerbitan, Peron House bukan hanya tempat mencetak buku, tapi juga rumah bagi para insan kreatif untuk bertumbuh dan berkembang bersama. Di sinilah seni bertemu komunitas, di mana kata-kata menjadi jembatan budaya dan identitas yang terus hidup.

Perjalanan Peron House mengajarkan kita bahwa kesabaran dan ketulusan dalam berkarya adalah kunci untuk melewati tekanan industri yang menuntut kecepatan. Dengan memberi ruang bagi kreativitas yang mengalir, Peron House ikut menjaga warisan budaya dan literasi yang tak ternilai harganya.

Terima kasih telah membaca hingga akhir. Di freshtouch.org, kami percaya bahwa setiap langkah kecil dalam kesadaran spiritual adalah fondasi penting dalam proses personal development. Semoga tulisan ini memberi ruang baru untuk terus mengembangkan diri secara utuh dan bermakna.


Posted

in

by

Tags: