Sering setiap kali ada orang merasa putus asa, ada saja yang berkata “Woy Move On Move On!” tak lagi ada yang peduli seolah-olah mengambil tindakan tersebut sangat gampang. Namun dibalik kata yang terucap ada hati yang perlu dicap dulu. Simbol move on tidak semudah itu bisa dilakukan namun ada proses. Let’s talk about Moving On!
Banyak orang kehilangan kenangan, satu momen kecil kalau ter trigger bisa membuat sedih hingga berujung anxiety yang paling parah hingga depresi karena tak bisa move on. Dan itu semua akan kita bahas setelah ini, karena yang bisa berdamai butuh waktu yang kuat juga butuh tantangan. Semua itu bisa jadi kenyataan apabila kita mengerti konsep dasar dari emosi.
Penyembuhan emosi itu berlapis. Kita bisa tertawa hari ini, lalu merasa hampa keesokan harinya. Kita bisa merasa “sudah selesai”, tapi ternyata masih menyimpan luka di pojok yang nggak terlihat. Dan semua itu valid. Justru dengan mengakui luka, kita membuka jalan untuk benar-benar sembuh.
Move on bukan tentang pura-pura nggak sakit, tapi tentang pelan-pelan menerima bahwa ada hal-hal yang nggak bisa dipaksakan untuk bertahan. Di bagian berikutnya, kita akan bahas lebih dalam kenapa proses ini bisa terasa sangat sulit—dan kenapa justru di kesulitan itulah, kita sedang tumbuh.
Susah Banget Move On? Ini Alasan yang Jarang Dibahas
1. Karena yang Dilepaskan Bukan Cuma Orang, Tapi Juga Harapan
Move on nggak cuma soal kehilangan seseorang, tapi juga kehilangan rencana, impian, bahkan versi diri yang sempat tumbuh bersama mereka. Melepaskan masa lalu berarti kita harus merelakan gambaran masa depan yang dulu terasa pasti. Dan itu butuh waktu. Nggak ada jalan pintas.
2. Luka yang Nggak Kelihatan Sering Lebih Dalam
Bukan cuma yang ditinggalkan yang merasa hancur. Kadang, orang yang memutuskan pergi juga menyimpan luka diam-diam. Penyembuhan emosi bukan perkara siapa yang salah atau benar, tapi bagaimana kita memberi ruang untuk rasa sakit yang belum selesai diungkap. Karena luka batin itu nggak bisa diukur dari cerita yang terlihat di luar.
3. Pikiran Sering Menipu: “Kalau Waktu Diulang…”
Salah satu jebakan saat berusaha move on adalah imajinasi soal “seandainya”. Kita terus mengulang kemungkinan di kepala: “Kalau aja aku lebih sabar…”, “Kalau aja dia nggak berubah…” Padahal semua itu nggak akan mengubah kenyataan. Yang ada justru memperpanjang rasa sesak yang seharusnya perlahan dilepas.
4. Kita Takut Kosong
Ada ketakutan aneh yang muncul saat kehilangan: kekosongan. Kita terbiasa memberi perhatian, berbagi kabar, atau sekadar punya rutinitas bersama. Dan saat semua itu hilang, rasanya kayak melayang. Tapi perlu diingat, ruang kosong itu juga bisa jadi tempat lahirnya sesuatu yang baru—diri yang lebih kuat, lebih sadar, dan lebih utuh.
5. Karena Kita Masih Manusia
Sulit move on bukan tanda kelemahan, tapi tanda bahwa kita pernah benar-benar mencintai, percaya, dan berharap. Melepaskan masa lalu bukan tentang melupakan, tapi tentang menerima bahwa apa yang pernah indah pun bisa punya akhir. Dan itu nggak membuatmu gagal—itu membuatmu manusia.
Di bagian selanjutnya, kita akan bahas langkah-langkah kecil untuk bantu proses penyembuhan emosi agar kita nggak terus-menerus terjebak di masa lalu. Karena kamu layak punya ruang baru yang lebih tenang, meski harus mulai dari pelan.
Langkah Kecil untuk Move-On Tanpa Memaksa Diri
Artikel Terkait : Mengurangi Stress dan Kecemasan Mindfulness
Akui Dulu Rasa Sakitnya
Langkah paling pertama dan paling penting: berhenti pura-pura kuat. Kalau memang sedih, kecewa, atau marah—rasakan. Nggak perlu dipoles. Melepaskan masa lalu dimulai dari mengakui bahwa kamu sedang terluka, bukan dari berpura-pura semua baik-baik saja.
Kurangi Kontak, Walau Masih Ingin Tahu
Susah move on salah satunya karena kita masih cari tahu kabar mereka—dari story, mutual friend, atau stalking diam-diam. Tapi makin sering dilakukan, makin lama proses penyembuhan emosi terjadi. Coba beri jeda. Unfollow, mute, atau buat jarak. Bukan karena benci, tapi karena kamu sedang butuh ruang untuk sembuh.
Ganti Rutinitas yang Terkait dengan Kenangan
Kalau biasanya tiap pagi kamu ngecek pesan dari dia, coba alihkan ke hal baru. Bikin kopi sendiri, journaling, olahraga ringan. Rutinitas baru ini bisa bantu otak dan hati “re-wire” ulang jalur kebiasaan yang sebelumnya terlalu melekat dengan kenangan lama.
Cerita Sama Orang yang Bisa Dengar Tanpa Menghakimi
Teman baik, kakak, atau bahkan terapis—kadang kita cuma butuh didengar, bukan diceramahi. Saat kamu cerita ke orang yang tepat, kamu sedang membantu diri sendiri memetakan perasaan. Dan dari sana, move on terasa sedikit lebih ringan.
Tulis Semua yang Mau Kamu Ucapkan (Tapi Nggak Dikirim)
Kalau masih banyak hal yang pengen kamu sampaikan, coba tulis. Buat surat yang nggak dikirim. Curahkan semuanya—amarah, rindu, kecewa, dan terima kasih. Ini bukan buat mereka, tapi buat kamu. Sebagai bentuk rilis emosi dan awal baru.
Nggak ada cara instan buat move on. Tapi langkah kecil ini, kalau dilakukan dengan jujur dan konsisten, bisa bantu kamu berdiri pelan-pelan. Dan kamu akan lihat, perlahan luka itu bukan hilang—tapi berubah bentuk, jadi pelajaran, bukan beban.
Move On Bukan Melupakan, Tapi Membebaskan Diri
Move on sering disalahpahami sebagai “melupakan semuanya” dan “berpura-pura nggak pernah terjadi apa-apa.” Padahal, nggak ada yang bisa benar-benar lupa. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai. Bukan menghapus, tapi memberi tempat baru dalam hati—tempat yang nggak lagi menyakitkan, hanya dikenang dengan lapang.
Melepaskan masa lalu bukan soal seberapa cepat kamu bisa tersenyum lagi di depan orang lain. Tapi tentang seberapa jujur kamu menerima rasa sedihmu, menelusuri perihnya, lalu memilih bangkit lagi meski pelan. Kamu nggak harus kuat setiap hari. Tapi kamu bisa belajar lembut pada diri sendiri—itu juga bentuk kekuatan.
Penyembuhan emosi itu proses. Kadang hari ini kamu merasa sudah baik-baik saja, besoknya bisa kembali tenggelam. Tapi setiap kali kamu bangkit, kamu jadi sedikit lebih kuat, sedikit lebih kenal dengan dirimu sendiri.
Seperti kata Rupi Kaur, “What is stronger than the human heart which shatters over and over and still lives?” Dan itulah kamu—rapuh, tapi terus hidup. Terluka, tapi masih punya ruang untuk mencintai lagi—diri sendiri, dan hidup yang terus berjalan.
Terima kasih sudah membaca. Blog ini ditulis sebagai bagian dari perjalanan pertumbuhan pribadi dan pengembangan individu, yang kami rangkum di freshtouch.org — ruang kecil untuk jiwa yang ingin terus bertumbuh.